Pemerhati Isu Strategis dan Global, Prof Imron Cotan, memandang adanya empati dan simpati dari tersandera kelompok Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) Papua Phillip Mehrtens kepada Egianus Kogoya cs.
"Saya tidak heran, itu ada teorinya bernama Oslo Syndrom yang dikembangkan antara lain oleh Kenneth Levin yang menyebutkan kalau seseorang disandera, lama kelamaan akan mencintai atau bersimpati kepada yang menyanderanya. Itu bisa saja terjadi," ucapnya dalam diskusi bertajuk Penyanderaan Pilot Susi Air: Tindakan Terorisme? pada Jumat (17/3).
Menururut dia, faktor itulah yang kemudian dilihat Panglima TNI mengenai upaya pembebasan menjadi lebih complicated dan sulit. Bahkan, tak dipungkiri adanya kemungkinan Phillip jatuh cinta tidak hanya kepada penyanderanya tapi kepada ideologi yang dianut para penyandera.
"Ini jadi sulit karena dia sendiri tidak mau direscue. Jadi, kalaupun itu terjadi, saya berharap dalam waktu dekat bisa berubah. Karena jika dia bersimpati kepada gerakan separatisme, maka sesuai Pasal 13 A UU Tahun 2018, dia sudah terlibat dalam separatisme sesuai bunyinya: siapapun yang melibatkan diri atau membantu gerakan separatisme bisa dipidana maksimal 5 tahun," ucapnya.
Di sisi lain, Imron menyatakan, tuntutan para penyandera Pilot Susi Air yang ingin menukar kebebasan sanderanya dengan kemerdekaan Papua adalah di luar nalar. Bila tuntutan semacam ini dipenuhi, maka akan muncul banyak negara merdeka baru sebagai buah dari tindak penyanderaan.
"Tidak mungkin pemerintah Indonesia, sebagai negara besar dan berdaulat menuruti tuntutan semacam itu," ujar Imron.
Sementara itu dalam keynote speechnya, Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Boy Rafli Amar menyatakan, penyanderaan pilot Susi Air asal Selandia Baru itu justru kontradiktif dengan propaganda mereka selama ini. KKB, ujar Boy, selama ini selalu mempropagandakan bahwa mereka berjuang untuk masyarakat Papua.
"Pilot maskapai yang beroperasi di Papua itu besar sekali jasanya bagi warga Papua. Mereka berupaya membantu distribusi logistik yang sangat dibutuhkan masyarakat Papua, di tengah kondisi alam yang berat," ujar Boy.
Ditambahkan Prof Hikmahanto Juwana selaku Rektor Universitas Jenderal Achmad Yani, KKB di Papua ini bertujuan menimbulkan rasa takut dalam pergerakannya. Di negara mana pun, kata dia, gerakan semacam ini pasti dikutuk dan akan ditumpas.
"Pemerintah seharusnya segera bertindak tegas atas kelompok tersebut guna membebaskan tersandera. Hal itu untuk mencegah timbulnya hubungan emosional antara penyandera dan yang disandera, karena penyanderaan yang terlalu lama," ujarnya.